Rabu, 03 Juli 2013

Menanti Kuncup Berkembang

Yang aku tahu, kau adalah orang pertama yang bisa mengobrak-abrik hatiku. Sikapmu yang manis, membuatku begitu mudahnya jatuh dalam pesonanmu. Kuncup-kuncup cinta seolah telah memenuhi ruang hatiku. Hingga aku merasa sesak. Bagaimana jika kelak kuncup-kuncup ini bermekaran. Apa yang akan terjadi denganku? Apakah akan terasa lebih menyesakkan dari ini?
Seiring waktu, kau juga menabur pupuk sehingga kuncup-kuncup di hatiku tumbuh dengan suburnya. Kau bilang, kau akan sabar menanti hingga kuncup itu mekar. Aku mempercayaimu.
Tak ada seharipun, kau tidak hadir dalam kehidupanku. Katamu, aku adalah sumber semangatmu. Dan begitu juga bagiku. Kau adalah sumber semangatku. Walaupun, aku tidak bisa mengungkapkannya seperti yang kau ucapkan padaku. Aku hanya berrharap, semoga kau bisa memahami apa yang aku rasakan saat ini.
Kita bersama melewati hari. Saling mendukup cita-cita satu dengan yang lain. Kau tampak begitu bahagia setiap membicarakan keinginanmu untuk menjadi seorang pelaut. Aku pun selalu antusias mendengar ceritamu. Tak lupa, janji-janji manis yang kau ucapkan jika kau telah menjadi seorang pelaut nanti.
Aku mempercayainya.
Hingga tiba saat itu, ketika kau sudah sampai pada titik apa yang kau inginkan. Perlahan, kau mulai menghindariku. Lalu, dengan satu kalimat saja, kau pergi meninggalkanku. Memintaku untuk tetap menunggumu. Entah sampai kapan itu.
Sejak saat itu, tak kudengar lagi kabar darimu. Kuncup-kuncup di hatiku, tak tahu, apakah akan bermekaran nanti, atau malah mati sebelum ia sempat memperlihatkan kelopak indahnya. Untuk saat ini, aku hanya akan terus mencoba menjaga perasaan yang sudah tercipta untukmu. Walaupun, aku tidak tahu kapan itu akan berakhir.

Rasa cintaku padamu, akan tetap aku jaga.

I'm So Naive

Aku melihatnya dengan mata kepalau sendiri, kalau dia sedang jalan berdua bersama dengan wanita lain. Sama seperti yang di katakan oleh sahabat-sahabatku. Tapi, pikiranku selalu memerintahkan, seolah mataku tak pernah melihatnya.
***
Aku menanyakan keberadaannya kemarin. Dan, dengan tenang ia menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan.
“Aku pergi membeli ini,” ujarnya sambil menyerahkan kotak kecil padaku.
“Kau membeli hadiah ini untukku?”
“Tentu saja. Setiap melihat barang-barang seperti itu, yang terlintas di pikiranku adalah kamu.”
Hanya dengan beberapa patah kalimat itu saja, ia sudah berhasil meluluhkan hatiku. Yang sebelumnya terasa begitu menyakitkan, kini berubah menjadi perasaan yang begitu membahagiakan.
Aku tahu, kalimat yang di ucapkannya adalah kebohongan belaka. Tapi dengan kebohongannya itu, ia malah berhasil menyalakan kembang api cinta di dalam hatiku. Walaupun aku tahu semuanya bohong, tapi, aku tetap menyukainya.
Aku tidak perduli jika hatiku harus terus terluka karena sikapnya yang sering mendua di belakangku. Cukup mendengar kebohongan manis darinya, aku sudah merasa tenang. Karena, aku tahu, aku tidak bisa kalau bukan dia.
Sehingga, terluka pun aku ikhlas. Asal bisa terus bersamanya. Mereka bilang aku terlalu naif. Seharusnya aku sudah meninggalkannya. Tapi, mereka tidak pernah tahu bagaimana dengan hatiku. Tidak semudah itu aku bisa memutuskan untuk meninggalkannya.

Walapun cinta yang ia berikan untukku juga suatu kebohongan. Aku sudah merasa cukup puas dengan semua itu. Naif kah aku? Ya, aku memang naif.