Sabtu, 16 April 2016

Untukmu yang Tak Sempat Kumiliki

Source: hdwallpapersrocks.com

Langit mungkin masih seperti kemarin.
Matahari terbit di timur, menuju senja yang menanti.
Kucing masih tak suka tikus, dan angsa masih suka menari.
Aku pun masih di sini, merenungimu yang tak mungkin kumiliki.

Dusta, jika aku bahagia melihatmu dengannya.
Dusta, jika ku ikhlaskan hatimu untuknya.
Namun, mulut ini tak berdaya.
Mendustai perasaan seperti jadi kebiasaan.

Senyum palsu selalu jadi andalan.
Menggembok hati, biar tak terluka semakin dalam.
Ku tahu, mungkin kau takkan pernah paham.
Karena ucapan dan keinginanku tak pernah sejalan.

Untuk hati yang ku biarkan pergi.
Aku memang menangis untuk legakan hati.
Bila tiba saatnya, akan aku buka lagi.
Karena takkan pernah ku biarkan hati ini  mati.


Rabu, 30 Maret 2016

Warm House #BahagiadiRumah



Aku bukanlah tipe anak perempuan yang senang kumpul bareng teman ramai-ramai di caffe, yang ngobrolin materi gak penting seputar gebetan dan cinta. Aku lebih ke tipe anak yang lebih senang menghabiskan waktu di rumah, ngejahili adik-adikku, atau mengurung diri di dalam kamar untuk sekedar membaca novel atau komik. Dari aku kecil, orang tuaku sudah sangat menyadari jika anak perempuan mereka satu-satunya ini merupakan seoang introvert. Aku kesulitan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarku.

Mereka mulai menyadari keadaanku ketika aku mulai masuk taman kanak-kanak. Kedua orang tuaku mendapat laporan dari guru kelas jika selama di dalam kelas, aku hanya berbicara dengan satu orang teman saja. Sedangkan saat sedang istirahat, aku lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku-buku cerita (Walaupun belum pandai baca, ngelihat gambarnya aja udah asik kok), daripada bermain di halaman sekolah.

Setelah masuk SD, kondisi ini terus berlanjut. Postur tubuh yang mungil membuat teman-temanku gemas melihatku. Tak jarang aku dikerumuni oleh beberapa orang teman sekaligus. Tapi, tetap saja, aku kesulitan untuk berkomunikasi dengan mereka. Aku dikenal sebagai anak yang pendiam di sekolah.

Tapi, bukan berati aku tidak memiliki teman. Hanya saja, teman yang ku miliki sangat terbatas. Tergantung cocok atau tidaknya chemistry antara mereka denganku. Dan, keadaan yang aku miliki ini tentu saja membuat kedua orang tuaku merasa khawatir. Dengan perlahan, mereka mulai memancingku untuk berinteraksi dengan mereka. Karena tahu dengan hobiku yang senang melihat-lihat gambar di buku cerita, Ayah jadi sering membelikanku majalah-majalah anak. Bergantian, mereka menceritakan cerita-cerita bergambar di dalam majalah. Tak jarang, mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan di luar nalar yang aku sampaikan pada mereka.

Dan, berkat rasa kebersamaan yang mereka pupuk padaku, perlahan aku mulai membuka diri. Dimulai dengan menjadi pendongeng untuk kedua  adikku. Seiring berjalannya waktu, ayah atau pun ibu kadang mengajak anak-anak lain di sekitarku untuk turut mendengarkan aku bercerita. Berkat hal tersebut, aku pun mulai bisa berinteraksi dengan orang lain di luar keluargaku. Tapi tetap saja, aku lebih senang bermain bersama keluargaku di rumah.

Lambat laun, kedua orang tuaku sudah menyadari jika karakter anak mereka memang seperti itu. Walaupun aku lebih senang berada di rumah, mereka sudah cukup bahagia ketika tahu anaknya sudah dapat berinteraksi dengan orang lain. Mereka sangat senang ketika mendengarku aktif di beberapa ekskul di sekolah, juga di keanggotaan OSIS. Masuk ke jenjang perkuliahan, aku juga aktif di dalam kepengurusan BEM. Hal ini membuat kedua orang tuaku lega. Mereka tidak merasa khawatir lagi padaku, walaupun aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah dari pada kumpul bersama teman-temanku.

Tahu anaknya lebih senang berada di rumah membuat kedua orang tuaku selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang nyaman dan akrab di dalam rumah. Setiap akhir pekan, ibu selalu mengajak kami semua untuk membuat cemilan yang akan dimakan bersama di malam minggu. Ayah dan Ibu juga memfasilitasi apa yang diperlukan anak-anak mereka, juga selalu mendukung hal-hal positif yang kami lakukan.

Walaupun kadang tak jarang orang membicarakanku yang mereka anggap buang-buang waktu karena menghabiskan waktuku di rumah, aku membalikkan ucapan mereka dengan menghasilkan karya yang membuat kedua orang tuaku bangga. Berkat dukungan mereka akan hobiku yang senang membaca dan menulis cerita, kini aku sudah berhasil menerbitkan tiga buah novel yang sampai saat ini, aku sendiri masih belum percaya jika mereka adalah hasil yang nyata. Bukti jika waktu yang kuhabiskan di rumah selama 22 tahun ini tidak sia-sia seperti yang mereka bicarakan.


Ketiga Novel Milikku

Event Ulang tahun Nova yang ke-28 membuatku memutar ulang kenangan ketika Ibu pertama kali membawa pulang majala Nova ke rumah. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas 8 SMP. Ibu mengajakku untuk mempraktikkan salah satu resep yang ada di dalam majalah Nova. Dan, karena itulah aku juga mulai jatuh cinta pada dunia kuliner. Persepsiku tentang ‘Masak adalah hal yang sulit’ langsung terbantahkan. Resep-resep yang ada di majalah Nova membuat kegiatan memasak menjadi hal yang menyenangkan.

Event NOVAVERSARY juga membuatku menyadari jika tidak ada tempat yang senyaman rumahku. Tempat di mana memori indah yang kami bangun bersama tidak akan pernah lekang di makan usia. Walaupun suatu saat kelak aku akan meninggalkan rumah tempat aku dibesarkan dengan begitu banyak cinta dari orang tuaku, untuk membangun keluarga milikku sendiri. Aku berharap, kehangatan dan cinta yang aku rasakan saat tinggal bersama orang tua dan kedua adikku, bisa aku hadirkan di keluarga milikku nanti. 

Semoga, Nova juga selalu bisa menghadirkan berita-berita bermanfaat untuk seterusnya. Jadi, bukan hanya di angka 28, tapi terus hingga mencapai 50 atau bahkan lebih dari itu. Hingga kelak, aku bisa membacanya bersama anak-anakku. Seperti aku dan Ibu dulu.