Cinta Baru di Pasir Panjang
Oleh : Rin Akizakura
“Jadi, kamu ikut kita kan?” tanya Reza padaku.
Aku sendiri tidak langsung menjawab pertanyaan yang Reza lontarkan.
Aku lebih memilih untuk berguling-guling di kasur kamar tidur ku. Melihat ku
yang bertingkah seperti itu, tampaknya membuat Reza kesal.
Ia mengambil bantal guling milik ku, lalu memukulannya di tubuh ku.
“Apa sih?!” tanya ku kesal.
Reza semakin kesal setelah mendengar pertanyaan ku. Ia kembali
memukulkan bantal guling itu pada tubuh ku yang masuk dalam kategori kurus ini.
“Seharusnya, aku yang marah. Kenapa kamu jadi ikut-ikutan marah
juga?!” Reza langsung duduk bersandar di dinding kamar ku. Aku hanya bisa
nyengir menghadapi kekesalan teman ku yang satu ini.
“Iya, iya. Aku ikut. Puas?!” aku ikut bersandar di samping Reza.
“Nah, gitu dong. Itu baru Rian yang aku kenal. Hahaha...” Reza
menepuk pelan pundak ku.
Reza datang ke rumah ku sebenarnya ingin mengajakku yang tengah
dilanda galau untuk pergi ke pantai Pasir Panjang, tanggal satu januari nanti.
Sebenarnya, aku malas sekali meninggalkan rumah, saat perasaan ku sedang tidak
baik seperti ini. Tapi, pergi ke Pasir Panjang mungkin bisa menghilangkan
sedikit stres yang sedang aku alami.
Dan penyebab dari kegundahan hati ku sendiri adalah karena aku
masih belum bisa melupakan gadis yang sangat aku cintai yaitu, Raina. Sejak
enam bulan yang lalu, Raina memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
Alasannya, sangat sederhana. Ia tidak ingin menjalani LDR yang baginya sangat
sulit untuk dilakukan. Padahal, aku merasa kami baik-baik saja menjalani
hubungan LDR yang sudah berjalan dua tahun ini.
Keputusannya untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta, membuat kami
harus terpisah oleh lautan. Sebenarnya, ia sudah meminta ku untuk melanjutkan
studi di Yogyakarta bersamanya. Hanya saja, aku lebih memilih untuk tetap
berada di kota kelahiran ku tercinta, kota Singkawang. Hal ini karena, aku
tidak ingin membuat kedua orang tua ku terus mengkhawatirkan keadaan ku, karena
aku jauh dari mereka.
Saat itu, aku sudah meyakinkan Raina, kalau kami pasti bisa
menjalani hubungan jarak jauh ini. Tapi, setelah dua tahun berjalan, sepertinya
Raina sudah tidak mampu lagi untuk meneruskannya. Tak ingin membuat Raina
merasa terbebani, akhirnya aku menyetujui permintaan Raina untuk putus. Bukan
karena aku tidak mencintainya lagi. Hanya saja, aku tidak ingin membuatnya
merasa tidak nyaman dengan hubungan yang kami jalani.
Walaupun aku begitu mencintai Raina, jika takdir Tuhan mengatakan
kami harus berpisah, maka tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Mungkin, ini
adalah skenario terbaik yang sudah ditetapkan oleh Tuhan untuk ku.
“Siapa aja yang pergi?” tanya ku pada Reza yang tengah sibuk
mengotak-atik ponsel miliknya.
“Eh? Oh, yang pergi hanya anak-anak cowok dari kelas kita aja.
Soalnya, yang cewek pada punya acara sendiri. Enggak kompak banget tahun ini,”
seloroh Reza.
Aku hanya menganggukkan kepala ku tanda mengerti. Anak pendidikan
Fisika semester lima memang kurang kompak untuk acara liburan tahun ini. Aku
sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin, cewek-cewek di kelas ku sudah pada
punya pasangan masing-masing. Karena itu, mereka lebih memilih menghabiskan
waktu bersama kekasih mereka, dibandingkan teman sekelas.
“Perginya, aku numpang sama kamu ya, Za,” tukas ku.
Reza langsung menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sejak pertama
masuk kuliah di fakultas keguruan yang ada di kota Singkawang, aku memang
sering kemana-mana bareng dengan Reza.
“Kalau gitu, aku pulang dulu. Bapak udah sms nyuruh aku pulang
nih.” Reza bangkit dari duduknya, bersiap untuk pulang.
“Emm...” aku langsung mengantar Reza keluar dari rumah.
“Besok pagi, aku jemput jam delapan. Awas aja kalau kamu belum
bangun,” ancam Reza padaku.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala serta senyuman.
***
Malam ini, kami berkumpul di ruang keluarga dan menonton siaran
televisi bersama. Baru pukul delapan malam, tapi adik bungsu ku sudah tampak
terlelap di pangkuan bunda. Sedangkan kakak perempuan ku tampak serius
memandangi layar notebook miliknya. Siaran televisi sepertinya tidak
bisa mengalihkan perhatiannya dari naskah novel yang sedang ia coba selesaikan.
Di luar rumah, terdengar riuh para tetangga yang sibuk menunggu
pergantian tahun yang akan terjadi tepat tengah malam nanti. Keluarga ku
sendiri tidak termasuk pada kelompok orang-orang yang merayakan tahun baru
tersebut. Karena itu, kami lebih memilih untuk tetap diam di rumah, walaupun
para tetangga mengajak kami untuk merayakannya bersama mereka.
“Nda, besok teman-teman ngajak Rian ke Pasir Panjang. Rian boleh
pergi, Nda?” tanya ku pada bunda yang sedang mengelus-elus kepala adik ku.
Mendengar pertanyaan ku, Bunda langsung mengarahkan tatapannya ke
wajah ku. Bunda tampak memikirkan pertanyaan ku tersebut. Setelah menghabiskan
waktu selama dua menit, akhirnya bunda buka suara juga.
“Coba tanya sama Ayah aja,” ujar Bunda singkat.
Aku langsung menganggukkan kepala, kemudian langsung melangkahkan
kaki ku mendekat ke tempat ayah sedang duduk. Setelah itu, aku langsung duduk
di samping ayah.
“Yah...” sapa ku.
“Hmm...” jawab ayah singkat.
“Besok, Rian boleh ke Pasir Panjang bareng teman sekelas enggak,
Yah?” tanya ku hati-hati.
Ayah langsung mengalihkan pandangannya dari televisi ke arah ku.
Jantung ku berdegup kencang menanti jawaban apa yang akan lontarkan pada ku.
“Kalian mau ngapain di sana?” Ayah malah balik bertanya pada ku.
“Liburan aja, Yah. Soalnya, tanggal dua Januari udah harus masuk
kuliah lagi, Yah,” terangku.
Ayah tampak memikirkan jawaban yang akan ia sampaikan pada ku.
Sedangkan aku, duduk dengan cemas menantikan jawaban ayah. Dan, tampaknya kakak
perempuan ku juga tertarik mendengarkan jawaban dari ayah.
“Hmm... boleh. Asal, kamu harus pulang sebelum maghrib. Dan, jangan
lupa sholat,” tukas ayah lagi.
“Iya, Yah. Makasih ya, Yah.” Aku langsung melangkah meninggalkan
ruangan tersebut menuju kamar.
Belum jauh aku melangkahkan kaki meninggalkan ruangan tersebut,
suara kak Rika langsung terdengar menyebut nama ayah. Sepertinya, setelah
melihat aku mendapat izin dari ayah, kak Rika juga ingin melakukan hal yang
sama.
***
Pukul tujuh pagi, aku sudah menunggu kedatangan Reza ke rumah ku.
Di jalan depan rumah ku, tampak sisa-sisa petasan sisa semalam. Ini yang paling
tidak ku sukai dari acara malam tadi. Mereka sama sekali tidak membersihkan
sisa kesengan mereka tadi malam. Sembari menunggu Reza, akhirnya ku ambil sapu
yang ayah simpan di bawah pohon mangga untuk menyapu jalan yang ada di depan
rumah. Hanya jalan yang berada di depan rrumah ku. Aku tidak memiliki waktu
yang banyak untuk membersihkan seluruh jalan ini.
Ketika pekerjaan ku hampir selesai, Reza sudah tiba dengan motor matic
miliknya.
“Pagi ini, aku sudah melihat contoh warga yang sangat baik,” ujar
Reza sambil turun dari motor miliknya.
“Yang lain nunggu di mana?” tanya ku pada Reza yang ikut berjalan
di samping ku menuju rumah.
“Di masjid Agung. Kita langsung ke sana aja,” usul Reza.
Aku hanya menganggukkan kepala sambil meletakkan sapu kembali di
tempatnya. Setelah berpamitan dan mengambil helm, aku dan Reza segera berangkat
menuju masjid Agung, tempat teman-teman ku menunggu.
***
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam perjalanan, akhirnya
kami semua sampai di pantai Pasir Panjang Singkawang. Suasana tahun baru
membuat pantai ini padat pengunjung. Aku dan teman-teman ku langsung mencari
tempat kosong untuk kami bersantai.
Aku langsung memilih duduk bersandar di bawah sebatang pohon yang
rindang. Tidak ikut berbincang dengan teman ku yang lainnya. Dari sini, aku
bisa memandang langsung pulau Kabung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
bibir pantai. Hanya saja, perahu tetap dibutuhkan untuk menyeberang ke sana.
Beberapa perahu nelayan juga tampak sedang menjaring ikan. Angin
laut membuat rambut ku berubah dari sisiran awalnya. Aku pun harus berulang
kali merapikannya. Sedangkan teman-teman ku masih asik membicarakan hal satu
dan yang lainnya.
“Kamu kenapa diam aja di situ sih, Ian. Masih zaman ya, galau
seperti kamu gitu,” teman ku yang bernama Dimas akhirnya buka suara akan sikap
diam ku.
“Iya nih. Si Ian dari tadi diam aja. Kesambet hantu laut baru tahu
rasa,” sahut Bima.
“Jangan kesambet hantu juga kali... kita perginya enggak bawa
ustadz. Kalau dia kerasukan, siapa yang mau ngobatin?” sambung Reza.
Dan, apa yang sudah diucapkan oleh Reza, sukses membuat teman-teman
ku yang lain tergelak. Aku sendiri hanya bisa menahan tawa. Tak ingin ikut
tertawa akan lelucon yang mereka tujukan pada ku.
“Turun ke pantai yuk!” ajak Jati.
Teman-teman ku seperti nya setuju dengan ajakan Jati. Aku sendiri
akhirnya memilih untuk ikut bersama mereka turun ke pantai. Tidak enak jika
tidak ikut turun. Dan, cuaca juga belum terlalu panas.
Kami pun langsung berlomba untuk segera mencapai bibir pantai. Dan,
sepertinya aku akan jadi yang terakhir sampai di sana.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala kami. Aku langsung
berjalan meninggalkan teman-teman ku yang masih asik main air. Aku kembali ke
tempat kami menyimpan barang-barang kami tadi.
Sesampainya di tempat istirahat, aku langsung minum beberapa teguk
air. Kemudian, mulai menyandarkan tubuh ku di batang pohon tadi. Setelah itu,
aku memutuskan untuk mendengarkan musik dari ponsel milikku. Earphone
sudah terpasang di telingaku, dan alunan lagu favoritku mulai terdengar. Aku
pun mulai memejamkan mata ku untuk menikmati lagu tersebut.
Sedang asik menikmati musik yang terdengar dari earphone milik ku,
tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pelan bahu ku. Aku pun segera membuka
perlahan kedua mata ku. Dan, tampak lah wajah seorang gadis yang tengah menatap
ku. Aku langsung terkejut melihat kehadiran gadis itu di depan ku.
“Kamu siapa?” tanya ku dengan tampang was-was.
“Maaf udah ganggu kamu. Aku mau nanya, tadi kamu ada lihat
gerombolan cewek yang pakaiannya seperti aku lewat di sini enggak?” tanya nya
pada ku.
Aku langsung memperhatikan pakaian yang dipakai oleh gadis itu.
Setelah itu, aku langsung menggelengkan kepala ku, karena aku memang tidak
melihat rombongan cewek dengan pakaian seperti itu.
“Duh... mereka kemana ya?” wajahnya tampak resah.
Tak tega, akhirnya aku menawarkan diri untuk menemaninya mencari
teman-temannya. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih pada ku.
“Kamu, asalnya dari mana?” tanya ku padanya.
“Aku dari Pontianak,” jawabnya sambil tersenyum.
“Ke Pasir Panjang dalam rangka apa nih?” tanya ku lagi.
“Biasa. Agenda komunitas kami,” jawabnya lagi.
Aku langsung menganggukkan kepala ku mengerti. Ternyata, dia bukan
berasal dari kota yang sama dengan ku, Singkawang. Setelah itu, tidak ada lagi
yang mengeluarkan suara lagi. Kami berdua terus fokus memperhatikan lingkungan
di sekitar kami. Berusaha menemukan gerombolan gadis yang memakai pakaian yang
sama seperti gadis di sebelah ku ini.
Ya ampun... aku bahkan lupa menanyakan nama nya. Tak ingin rasa
penasaran lama mengganggu ku, akhirnya aku beranikan diri untuk menanyakan nama
nya.
“Oh iya. Aku jadi lupa ngenalin diri. Aku Rian.” Aku langsung
mengulurkan tangan ku.
“Iya nih. Karena sibuk nyari yang lain, aku jadi lupa ngenalin diri
ke kamu. Aku Raisya,” jawabnya sambil menyambut uluran tangan ku.
Kami berdua langsung tersenyum satu dengan yang lainnya. Karena
merasa lelah, aku mengajaknya untuk beristirahat terlebih dahulu. Kami duduk di
ayunan yang berada di bawah pohon rindang. Ia mengeluarkan air mineral dari
dalam tas nya. Kemudian, memberikan sebotol untuk ku.
“Terima kasih,” ujarku sambil menerima air mineral tersebut.
Dia menjawab rasa terima kasih ku dengan sebuah senyuman yang
sangat manis. Dan, seketika itu juga, jantung ku langsung berdebar-debar.
Persis sama seperti saat pertama kali aku melihat senyum di wajah Raina.
Menyadari hal tersebut, aku langsung mengalihkan pandangan ku cepat.
Setelah sempat berdehem, aku langsung melihat ke arah jam tangan milik ku.
Ternyata sudah masuk waktu dzuhur. Aku langsung berniat meninggalkan Raisya
sebentar, untuk sholat dzuhur.
“Maaf Raisya. Aku izin pergi sebentar ya. Mau sholat dzuhur dulu,”
ujar ku sambil bangkit dari ayunan.
“Eh. Udah masuk waktu dzuhur ya? kalau gitu, bareng aja. Aku juga
mau sholat dzuhur,” tukas Raisya cepat.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Raisya, langsung membuat ku
kaget. Raisya mau sholat dzuhur? Wajahnya yang persis gadis-gadis Korea,
membuatku merasa tidak yakin.
“Kamu muslim?” tanya ku penasaran.
“Eh? Memangnya kenapa?” tanya Raisya tampak keheranan dengan
pertanyaan ku.
“Aku kira... soalnya, wajah kamu itu...”
“Sudah. Santai aja. Enggak Cuma kamu kok yang bilang seperti itu.
Sudah ah. Mending kita segera ke Mushola,” ajak Raisya.
Aku merasa sangat tidak enak membicarakan hal itu dengan Raisya.
Aku hanya menganggukkan kepala menjawab ajakan dari Raisya. Setelah itu, kami
berdua langsung bergegas menuju mushola untuk sholat dzuhur.
***
Usai sholat, aku memutuskan untuk mengajak Raisya menunggu
teman-temannya di tempat aku dan teman-teman ku menggelar tikar saja. Raisya
tampak duduk melamun memandang laut.
“Kenapa?” tanyaku melihat ekspresi sedih di wajahnya.
“Enggak. Hanya kepikiran aja, kenapa enggak ada orang yang mengira
kalau aku muslim. Mungkin, aku harus merubah penampilan ku supaya identitas ku
sebagai muslim itu jelas,” jawabnya.
Aku hanya menganggukkan kepala ku, menyetujui apa yang
dikatakannya. Ya, wanita muslimah memang harus berpenampilan sebagaimana
semestinya agar identitasnya sebagai muslim itu di ketahui oleh orang lain.
Tiba-tiba saja, aku terpikirkan sesuatu. Aku heran. Kenapa solusi
ini tidak terpikirkan dari awal.
“Kamu sudah menghubungi teman-temanmu?” tanyaku pada Raisya.
Raisya langsung menggelengkan kepala nya pelan. Ternyata, ia sama
sekali belum menghubungi teman-temannya.
“Kenapa?” tanya ku lagi.
“Ponsel ku padam,” jawab nya singkat.
Aku tersenyum mendengar alasannya. Tanpa diminta, aku langsung
meminjamkan ponsel milikku pada nya.
“Pakai ponsel ku saja. Sini, sim card-nya dipindahin ke
ponsel ku dulu,” tukas ku.
Raisya langsung tersenyum senang mendengar tawaran ku. Ia segera
memindahkan sim card dari ponsel nya ke ponsel ku.
“Kenapa enggak kepikiran dari tadi ya?” tanya nya sambil tersenyum.
Deg...
Jantung ku kembali berdetak kencang lagi. Tidak mungkin. Aku tidak
mungkin jatuh cinta pada orang yang baru aku temui. Aku jatuh cinta dengan
Raina saja setelah berteman selama dua tahun.
Aku berusaha menyangkal perasaan yang kini sedang aku rasakan. Aku
langsung mengalihkan pandangan ku ke arah pantai. Teman-teman ku masih terlihat
asik di sana. Aku heran. Apakah mereka tidak merasa kepanasan? Atau mungkin
haus dan lapar? Juga lelah?
Saat seadng sibuk memperhatikan teman-teman ku yang sedang mengubur
dirinya di dalam pasir, terdengar suara Raisya yang tengah berbicara dengan
teman-temannya. Dari yang ku dengar, mereka berada di kolam renang. Tega sekali
mereka meninggalkan Raisya sendirian di sini, sedangkan mereka bersenang-senang
di kolam renang.
“Kamu tahu tempatnya? Soalnya, ini adalah kali pertama aku ke Pasir
Panjang. Biasanya, kalau ke Singkawang, aku lebih suka ke Teluk Mak Jantu.
Seneng banget foto-foto di pulau Simping nya.” Senyuman kembali terukir di
wajah oriental Raisya.
“Padahal, masih banyak tempat bagus buat foto-foto selain di pulau
Simping. Kenapa kamu malah suka di sana?” tanya ku heran sambil berjalan di
sisi Raisya.
“Ih, Kamu ini ya. tentu aja karena aku bangga bisa berada di pulai
terkecil di dunia. Itu sudah tercatat di PBB lo,” ujarnya kesal.
Aku hanya bisa nyengir melihat ekspresi kesal di wajah Raisya.
Sepertinya, ia memang sangat bangga akan predikat pulau terkecil yang di
sandang oleh pulau Simping.
Setelah lama berjalan, akhirnya kami sampai di depan pagar yang
melingkari kolam renang tersebut. Tibalah saat kami untuk berpisah. Setelah
mendapatkan nomor ponsel miliknya, aku pun pamitan untuk kembali ke tempat
teman-teman ku.
“Semoga kita bisa ketemu lagi ya,” ujar Raisya dengan ekspresi
sedih di wajah nya.
Aku hanya menganggukkan kepala ku lemah. Aku tidak menyangka,
berpisah dengan Raisya membuat ku sesedih ini. Padahal, aku belum lama
mengenalnya. Sehari pun belum sampai.
Setelah Raisya masuk ke dalam, aku langsung berbalik menuju ke
tempat teman-teman ku menunggu.
***
“Siapa tadi yang bareng kamu?” tanya Reza pada ku.
Aku hanya mengendikkan bahu ku. Berpura-pura tidak tahu. Saat aku
pulang dari mengantar Raisya tadi, teman-teman ku sudah duduk manis dengan
pakaian mereka yang sudah berganti. Aku penasaran berapa kecepatan yang mereka
alami dari mandi sampai kembali berpakaian rapi seperti saat ini.
“Pura-pura enggak tahu lagi. Kasih tahu aja kenapa sih?” Bima
ikut-ikutan.
Aku hanya menjawab rasa penasaran mereka dengan sebuah senyuman
yang menurut ku pasti akan menambah nilai ketampanan di wajah ku yang memang
sudah tampan.
“Pulang yuk. Entar ayah ku enggak ngizinin aku pergi-pergi seperti
ini lagi,” ujar ku mengalihkan topik pembicaraan.
Dan, mereka sepertinya setuju dengan ajakan ku untuk pulang. Usai
berkemas, kami segera meluncur meninggalkan Pasir Panjang. Satu yang aku ingat.
Kenangan pertemuan ku dengan Raisya di pantai ini, tidak akan aku lupakan.
Semoga, kelak kami bisa berjumpa lagi. Walaupun, aku tidak pernah tahu kapan hal itu dapat terjadi.
***
Hari ini genap satu tahun sejak pertemuan ku dengan Raisya. Aku
kini memang sudah melupakan Raina. Tapi, aku malah tidak bisa melupakan Raisya,
gadis yang aku temui tahun baru lalu di Pasir Panjang. Dan, gadis yang sangat
ingin aku temui lagi saat ini. Semoga Tuhan mendengar do’a ku. Walaupun aku
memiliki nomor ponselnya, namun keberanian untuk menghubunginya itu sama sekali
tidak ada.
“Di satu Januari bertemu...”
“Riaannn... Berisik!!” teriakan kakak perempuan ku dari kamar
sebelah memotong lagu yang sedang aku nyanyikan.
Tahun baru kali ini, aku diminta oleh bunda buat ngajak adik bungsu
ku jalan-jalan. Jadilah sekarang aku sedang menunggu adik ku bersiap-siap untuk
pergi ke Taman Burung. Ia memang minta naik komedi putar akhir-akhir ini.
Setelah adik ku siap, aku segera berangkat menuju ke rumah Reza.
Aku merasa tidak seru kalau tidak ada teman saat berada di sana.
Di depan rumahnya, Reza sudah siap dengan memeluk helm miliknya. Ia
melambaikan tangan ke arah ku ketika menyadari kedatangan ku.
“Sekarang, udah mau jadi abang yang baik nih?” canda Reza sambil
duduk di belakang adik ku.
“Dari dulu aku juga udah jadi abang yang baik kalii...” jawabku
singkat.
“Oke. Siap meluncur ke Taman Burung,” tukas Reza lagi.
Aku pun langsung memacu motor ku menuju Taman Burung. Berharap
tidak terlalu ramai orang berada di sana. Walaupun itu termasuk hal yang
mustahil. Tapi, kalau sudah kehendak Tuhan, siapa yang tahu.
***
Adik ku terus berlari dari satu gerobak ke gerobak yang lain. Demi
apa pun itu, hari ini ada begitu banyak sekali pedagang yang mencari rezeki.
Tidak seperti hari yang lainnya. Aku dan Reza pun harus kerepotan menahan nafsu
jajan Rio, adik ku. Tapi, dasarnya anak kecil, ia akan langsung menangis jika
dilarang. Padahal, tadi janji nya hanya buat main komedi putar aja. Bersyukur,
uang yang bunda kasih cukup untuk kami selama berada di Taman Burung ini.
“Capek...” keluh ku sambil duduk di salah satu kursi yang ada di
taman tersebut.
Reza juga ikut duduk di samping ku. Ia meneguk minuman dingin yang
baru saja dibelinya.
“Enggak kok. Malah aku senang. Andai aja aku juga punya adik,” ujar
Reza sambil tersenyum.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar pemikiran
teman ku yang satu ini. Suara teriaka Rio membuatku menoleh ke arahnya. Rio
melambai-lambaikan tangannya ke arah ku. Wajahnya tampak sangat bahagia. Ya,
hal yang sederhana kadang bisa begitu membuat seseorang merasa bahagia.
Aku balas melambaikan tangan ke arah Rio. Senyum di wajahnya
semakin lebar ketika tahu lambaian tangannya dibalas oleh ku. Tak mau kalah,
Reza juga ikut melambaikan tangannya ke arah Rio.
“Lain kali, aku pinjam Rio buat diajak jalan ya,” tukas Reza sambil
kembali menyesap minuman miliknya.
“Coba aja minta izin sama ayah atau bunda ku,” jawab ku singkat.
Ia tidak memperdulikan ucapan ku, karena Reza kini malah mendekat
ke arah komedi putar tersebut. Aku hanya bisa tersenyum memandang keakraban
antara adik ku dan sahabat ku.
Lalu, aku kembali mengedarkan pandangan ku ke arah jembatan yang
berada di atas sungai. Di sana, ada beberapa gadis berjilbab yang sedang mengambil
foto mereka. Seorang di antaranya tampak sibuk dengan kamera miliknya, lalu
kembali mengambil gambar temannya.
Tidak lama kemudian, gadis yang memegang kamera itu membalikkan
badannya. Ia kembali mengambil beberapa gambar orang-orang yang lalu lalang di
taman ini. Hingga akhirnya, aku menyadari jika kamera tersebut mengarah ke
arahku.
Gadis yang memegang kamera tersebut langsung mengangkat wajahnya
dari kamera. Ia tampak memandang lurus ke arah ku. Begitu juga dengan ku yang
kini menatap lekat ke arahnya. Dan, beberapa detik kemudian, senyuman yang
paling aku ingat tampak menghiasi wajah gadis berjilbab tersebut.
Ya. Gadis yang selalu aku rindukan ada di sana. Dan, berkat izin
Allah, aku diberi kesempatan untuk bertemu lagi dengannya di keadaan yang lebih
baik lagi dari sebelumnya.
“Raisya!!” aku berteriak memanggil namanya.
Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah ku. Bukankah
ini tahun baru terbaik dalam hidup ku?
~0~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar